Back

Kurs Rupiah Indonesia Tertekan di 16.857 per Dolar AS, Ketidakpastian Tarif, Tekanan Domestik Bayangi Ekonomi

  • Kurs Rupiah Indonesia diperdagangkan di 16.857, menunjukkan penurunan sebesar 0,52% sejak Selasa.
  • Daya beli masyarakat Indonesia menurun akibat deflasi,sementara sektor manufaktur dan ritel melambat karena PHK dan terbatasnya lapangan pekerjaan.
  • Ketegangan perdagangan AS-Tiongkok memicu ketidakpastian pasar global, sementara Dolar AS sedikit naik didorong data penjualan ritel yang kuat.

Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS (USD) masih melemah, diperdagangkan di level 16.857 per USD menjelang penutupan pasar keuangan Indonesia pada hari Kamis, menjelang sesi Eropa. Pasangan mata uang USD/IDR tercatat terus menguat sejak Selasa, mencatat kenaikan sebesar 0,52%. Rupiah masih menunjukkan tekanan yang cukup dalam, terdorong oleh kombinasi faktor domestik dan global.

Tekanan Berlapis Bayangi Ekonomi Nasional

Perekonomian nasional kini menghadapi tekanan berlapis, mulai dari penurunan daya beli masyarakat hingga ketidakpastian eksternal akibat penundaan kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump.

Laporan dari CORE Indonesia mengungkap sinyal anomali konsumsi rumah tangga menjelang Lebaran 2025. Fenomena deflasi awal tahun, yang sebagian besar dipicu oleh diskon tarif listrik dan penurunan harga makanan, menjadi cerminan lemahnya permintaan. Tekanan terbesar datang dari kelas menengah, yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor manufaktur, perlambatan pertumbuhan upah riil, serta semakin terbatasnya lapangan pekerjaan formal. Kondisi ini turut menyeret performa sektor ritel yang kian melambat.

Dari sisi eksternal, tensi dagang kembali mencuat setelah AS memberlakukan tarif resiprokal terhadap Indonesia, meski sebagian di antaranya ditangguhkan selama 90 hari. Namun, menurut ekonom senior Ryan Kiryanto, penundaan tersebut justru memperpanjang ketidakpastian di pasar. Ia menilai dinamika kebijakan tarif Trump sangat fluktuatif dan menjadi tantangan besar bagi dunia usaha.

Sektor perbankan pun tak luput dari dampaknya. Penyusunan asumsi-asumsi ekonomi dalam revisi Rencana Bisnis Bank (RBB) menjadi semakin rumit, mengingat ketidakpastian tarif harus dimasukkan dalam skenario risiko dan perencanaan strategis, seperti dilansir dari Kompas.

Tarif 245% pada Tiongkok sebabkan Kebingungan, Tiongkok Tak Terganggu

Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok terus memanas, memicu gelombang ketidakpastian di pasar global. Dalam perkembangan terbaru, Gedung Putih menyebut beberapa produk asal Tiongkok kini menghadapi tarif setinggi 245%, memicu kebingungan di Beijing. Namun, pernyataan tersebut bukanlah bentuk eskalasi baru, melainkan akumulasi dari berbagai tarif, seperti yang dijelaskan dalam lembar fakta dari Gedung Putih: tarif dasar 145% dari Presiden Trump, tambahan 125% sebagai tindakan balasan dari Tiongkok, 20% terkait krisis fentanil, dan tarif tambahan yang bervariasi antara 7,5% hingga 100% untuk produk tertentu.

Menanggapi hal ini, pemerintah Tiongkok menyatakan bahwa mereka tidak akan terganggu oleh "permainan angka tarif" yang terus dimainkan oleh Washington.

Dolar AS Menguat Tipis Usai Data Penjualan Ritel yang Optimis; Fokus Kini ke Data Ekonomi AS 

Di sisi lain, Dolar AS sedikit menguat meskipun masih berada dalam tren pelemahan. Indeks Dolar (DXY) diperdagangkan di kisaran 99,55, terdorong oleh data penjualan ritel yang lebih kuat dari perkiraan. Data menunjukkan bahwa belanja konsumen AS pada bulan Maret melonjak 1,4%, jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan 0,2% di bulan sebelumnya dan ekspektasi pasar sebesar 1,3%.

Para pelaku pasar kini mengarahkan perhatian mereka pada sederet rilis data ekonomi AS berikutnya, termasuk data izin mendirikan bangunan, pembangunan rumah baru, indeks manufaktur The Fed Philadelphia, serta data klaim pengangguran mingguan yang dapat memberi sinyal lanjutan mengenai arah ekonomi dan kebijakan moneter AS.

Pertanyaan Umum Seputar PERANG DAGANG AS-TIONGKOK

Secara umum, perang dagang adalah konflik ekonomi antara dua negara atau lebih akibat proteksionisme yang ekstrem di satu sisi. Ini mengimplikasikan penciptaan hambatan perdagangan, seperti tarif, yang mengakibatkan hambatan balasan, meningkatnya biaya impor, dan dengan demikian biaya hidup.

Konflik ekonomi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dimulai pada awal 2018, ketika Presiden Donald Trump menetapkan hambatan perdagangan terhadap Tiongkok, mengklaim praktik komersial yang tidak adil dan pencurian kekayaan intelektual dari raksasa Asia tersebut. Tiongkok mengambil tindakan balasan, memberlakukan tarif pada berbagai barang AS, seperti mobil dan kedelai. Ketegangan meningkat hingga kedua negara menandatangani kesepakatan perdagangan AS-Tiongkok Fase Satu pada Januari 2020. Perjanjian tersebut mengharuskan reformasi struktural dan perubahan lain pada rezim ekonomi dan perdagangan Tiongkok serta berpura-pura mengembalikan stabilitas dan kepercayaan antara kedua negara. Pandemi Coronavirus mengalihkan fokus dari konflik tersebut. Namun, perlu dicatat bahwa Presiden Joe Biden, yang menjabat setelah Trump, mempertahankan tarif yang ada dan bahkan menambahkan beberapa pungutan lainnya.

Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih sebagai Presiden AS ke-47 telah memicu gelombang ketegangan baru antara kedua negara. Selama kampanye pemilu 2024, Trump berjanji untuk memberlakukan tarif 60% terhadap Tiongkok begitu ia kembali menjabat, yang ia lakukan pada tanggal 20 Januari 2025. Perang dagang AS-Tiongkok dimaksudkan untuk dilanjutkan dari titik terakhir, dengan kebijakan balas-membalas yang mempengaruhi lanskap ekonomi global di tengah gangguan dalam rantai pasokan global, yang mengakibatkan pengurangan belanja, terutama investasi, dan secara langsung berdampak pada inflasi Indeks Harga Konsumen.


 

Kementerian Perdagangan Tiongkok: Tiongkok terbuka untuk negosiasi di bidang ekonomi dan perdagangan

Kementerian Perdagangan Tiongkok mengatakan pada hari Kamis bahwa Beijing “terbuka untuk negosiasi di bidang ekonomi dan perdagangan.”
আরও পড়ুন Previous

IHSG Tidak Menunjukkan Pergerakan Signifikan di Menuju Akhir Pekan Panjang

IHSG berada di area 6.425 naik 0,39% pada saat berita ini ditulis.
আরও পড়ুন Next